Search This Blog

Orang yang Dimakruhkan Kepemimpinan Shalatnya dan Hal-Hal yang Dimakruhkan Ketika Menjadi Imam

 

Dimakruhkan kepemimpin shalat bebera­pa orang berikut ini. Mereka adalah sebagai berikut.

1.       Orang fasik pintar meski mengimami orang sesamanya, menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Karena, orang seperti ini tidak peduli dengan agama. Hambali mengecualikan untuk shalat Jumat dan Id maka sah kepemimpinan shalatnya bila dalam keadaan terpaksa. Adapun mazhab Hanafi membolehkan kepemimpinan orang fasik pintar kepada orang sesamanya. Ada­pun dalil dimakruhkan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Jabir r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Janganlah seorang wanita mengimami seorang laki-laki, tidak pula seorang Arab badui mengimami orang Muhajirin, atau seorang jahat mengimami seorang muk­min kecuali karena dipaksa oleh penguasa yang ditakuti pedang atau cambuknya." Adapun dalil sah kepemimpinan shalat orang fasik pintar adalah hadits yang diri­wayatkan oleh dua imam besar hadits; Bukhari dan Muslim, bahwa Ibnu Umar r.a. pernah shalat di belakang Hajjaj dan diri­wayatkan, "Shalatlah di belakang orang baik ataupun orang jahat."

2.        Orang yang membuat bid’ah dan tidak membatalkan perbuatan bid’ahnya maka ia seperti orang fasik, bahkan lebih besar lagi. Orang pembuat bid’ah yaitu ke­percayaan yang berbeda dari apa yang di­kenal berasal dari Rasulullah saw. meski tidak bermaksud melawan, tetapi dalam bentuk syubhat, seperti mengusap kaki bagi kelompok Syi’ah dan penentangan mereka untuk mengusap sepatu kulit, dan lain-lain.

Perlu diperhatikan bahwa setiap orang yang menghadap ke arah kiblat kita tidak boleh untuk dikafirkan hanya karena me­lakukan perbuatan bid’ah yang dibangun di atas syubhat meski kelompok Khawarij sekalipun. Dimana mereka telah mengha­lalkan darah dan harta kita, serta mencaci Rasulullah saw., juga mengingkari sifat Allah dan boleh melihat-Nya. Karena, bid’ah itu masih bisa ditakwilkan dan syubhat dan dengan bukti bahwa kesaksian mereka masih bisa diterima.

Jika pembuat bid'ah sudah sampai mengingkari sebagian apa yang diketa­huinya dari agama adalah kekufuran, se­perti pendapat mereka bahwa Allah SWT. memiliki tubuh seperti tubuh manusia dan Rasulullah saw. yang berteman kepada ash-Shiddiq r.a., karena telah mendustai firman Allah yang berbunyi, "di waktu dia berkata kepada temannya.” (at-Taubah: 40) maka tidak sah mengikuti orang se­perti ini.

3.       Orang buta. Kepemimpinan shalatnya di­makruhkan menurut mazhab Hanafi, Ma­liki, dan Hambali karena orang buta tidak bisa menghindari benda najis. Namun, mazhab Hanafi mengecualikan jika orang buta itu adalah orang yang paling pintar di kaumnya maka ia lebih berhak untuk menjadi imam.

Adapun mazhab Syafi’i membolehkan kepemimpinan shalat orang buta tanpa ada makruh sama sekali. Orang buta sama saja seperti orang yang melihat, karena bisa jadi orang buta itu lebih khusyu’, sedang orang yang melihat dapat meng­hindari benda najis. Jadi, setiap dari ke­duanya memiliki keutamaan masing-ma­sing yang tidak dimiliki lainnya. Namun bagaimanapun, kepemimpinan shalat orang buta tetap sah menurut semua ma­zhab, karena ada hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia tetap mengimami orang pada saat matanya sudah buta. Anas r.a. ber­kata, "Nabi saw. pernah memerintahkan Ibnu Ummi Maktum untuk menggantikan menjadi imam, lalu ia mengimami orang dan matanya buta." Sebabnya, kebutaan hanyalah kehilangan indera penglihatan dan tidak sampai bisa mengurangi aktivi­tas shalat ataupun syarat-syarat sahnya. Jadi, orang buta mirip dengan orang yang kehilangan daya penciuman. Orang yang jelek penglihatannya pada malam dan siang hari dihukumi seperti orang buta. Orang bisu juga seperti orang buta menu­rut Hambali meski orang bisa lebih sah kepemimpinan shalatnya. Begitu juga orang yang putus kedua tangannya maka sah kepemimpinan shalatnya dalam ri­wayat yang dipilih oleh hakim Abu Ya’la, sedang dalam riwayat yang lebih kuat ti­dak sah kepemimpinan shalatnya. Tidak sah juga untuk menjadi imam orang yang putus kedua kakinya.

4.          Seseorang menjadi imam, tetapi ja­maahnya membenci orang itu. Keben­cian bisa menjadi pelarangan menurut Hanafi. Berdasarkan hadits, "Allah tidak akan menerima shalatnya orang yang mengimami orang, tetapi me­reka tidak menyukainya.”853

5.    Dimakruhkan memperlama shalat pada orang-orang dengan berlebihan dari standar sunnah dalam membaca dan berdzikir. Ketidaksukaan bisa men­jadi pelarangan menurut Hanafi, baik orang-orang setuju ataupun tidak.

Syafi'i dan Hambali mengecualikan untuk poin ini, bila sekelompok orang me- ridhai untuk diperlama shalat maka dian­jurkan untuk diperlama. Karena dengan

begitu, sebab ketidaksukaan telah hilang.

Adapun dalil dimakruhkannya mem­perlama shalat ada beberapa hadits. Di- antaranya, hadits Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda,

"Jika seseorang di antara kalian meng­imami orang maka peringanlah. Karena, di antara mereka ada orang lemah, sakit, ataupun tua. Kemudian, jika dia shalat sendiri maka perpanjanglah sesukanya."*™ Hadits lainnya, dari Abi Mas’ud al-An- shariy dan 'Uqbah bin ‘Amir, keduanya berkata, "Suatu ketika, seorang laki-laki datang menemui Nabi saw., seraya ber­kata, "Aku terlambat dari shalat Shubuh karena sebab fulan. la terlalu memperlama kami dalam shalat." Lantas Nabi saw. ber­sabda, "Sahabatku sekalian, di antara kalian ada orang yang kerap membuat orang lain enggan mengerjakan amalan agama. Karena itu, siapa saja yang mengimami orang lain, maka dipersingkatlan shalat­nya. Mengingat diantara mereka ada orang yang lemah, tua, dan ada yang sedang pu­ nya keperluan mendesak."*^

Maksudnya, dalam membaca tasbih jangan terlalu sempurna, begitu juga ba­gian-bagian shalat lainnya.

6.        Menunggu orang masuk. Menurut ma- yoritasulama,selain Syafi'i,berpendapat,856 "Dimakruhkan bagi imam untuk menung­gu orang yang masuk, karena masa me­nunggu itu kesyirikan dalam beribadah seperti perbuatan riya’. Karena juga, me­nunggu akan membuat jamaah lainnya merasa keberatan. Sebab, jauh kemung­kinan di antara mereka ada yang tidak merasa keberatan. Padahal, orang-orang yang bersama imam sudah lebih mulia dari orang yang akan masuk ke dalam masjid dan orang yang bersamanya juga tidak akan keberatan bila ada orang yang datang lagi.”

Syafi’i berpendapat,857 "Menurut ma­zhab, disunnahkan bagi imam ataupun orang yang shalat sendiri untuk menung­gu orang yang datang ke tempat shalat agar orang itu dapat mengikuti pada ruku, tetapi bukan ruku pada rakaat kedua dari shalat gerhana. Ataupun pada tasyahhud akhir dari shalatberjamaah. Dengan syarat, masa menunggu itu tidak terlalu lama, dimana sekiranya masa menunggu itu di­bagi-bagi ke seluruh shalat maka akan ter­lihat pengaruhnya. Tidak boleh juga mem­beda-bedakan orang yang masuk; baik karena kejujuran, kemuliaan, kepemimpi­nan, dan lain-lain. Menunggu itu dilakukan untuk membantu agar orang yang akan

datang itu dapat mengikuti rakaat shalat, atau mendapatkan pahala berjamaah. Se­bagaimana telah ditetapkan bahwa Nabi saw. memperlama masa rakaat pertama sampai tidak terdengar lagi langkah kaki orang. Karena, menunggu shalat ketika shalat juga. Nabi saw. sering menunggu jamaah. Aksi menunggu itu dimulai pada saat dilakukannya shalat khauf (takut) agar kelompok kedua bisa mengejarnya.

Ibnu Qudamah yang bermazhab Ham­bali sependapat dengan Syafi'i. seorang hakim dari mazhab Hambali juga ber­pendapat, "Menunggu itu boleh, tetapi ti­dak dianjurkan. Menunggu ketika shalat itu boleh dilakukan hanya untuk orang- orang mulia, seperti orang berilmu dan te­man-temannya yang mulia.”
7.   Dimakruhkan bagi imam untuk melagukan (terlalu banyak) bacaan surah yang bisa mengubah makna, se­perti men-yar-kan huruf dai pada kata iui , atau me-nashab-kan huruf ha pada kata i', atau me-nashab-kan huruf ba pada kata 4>>, dan lain-lainnya dalam surah al-Fati- hah. Adapun orang yang tidak melagukan bacaan surah akan sah shalatnya, karena dia telah melakukan kewajiban bacaan.


8.   Dimakruhkan kepemimpinan shalat orang yang tidak fashih mengucap­kan beberapa huruf seperti dhad dan qaf, tetapi sah shalatnya; baik orang Arab ataupun non-Arab. Adapun menurut ma­yoritas ulama, selain Hanafi sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, dimak­ruhkan kepemimpinan shalat orang yang sering mengulang huruf ta atau fa, tetapi tetap sah shalat di belakang kedua orang tersebut. Karena, keduanya telah menye­butkan huruf-huruf dengan sempurna

meski memberikan tambahan. Namun, tambahan itu karena kebiasaan mereka saja maka dimaafkan. Akan tetapi, dimak­ruhkan mendahulukan mereka berdua hanya karena adanya tambahan penyebu­tan huruf.

9.         Dimakruhkan kepemimpinan shalat orang badui kepada orang selainnya

yang bukan badui meski dalam perjalan­an, jika tidak pada sesamanya. Hanafi me­nyebutkan bahwa kaum Turkman, Kurdi, dan orang awam dihukumi seperti orang badui. Karena, mereka sangat kasar, se­dang seorang imam itu haruslah pengasih. Selayaknya pula seorang imam itu lembut dan penyayang. Mereka dimakruhkan juga karena kebodohan mereka. Kepemimpi­nan shalat orang yang bodoh; baik orang badui atau bukan adalah makruh jika ma­sih ada orangyang berilmu. Adapun Ham­bali berpendapat, "Tidak apa-apa shalat di belakang orang Badui jika agamanya baik"

10.        Dimakruhkan jika tempat imam itu lebih tinggi dari tempat makmum, satu hasta atau lebih; baik karena tujuannya untuk mengajarkan shalat ataupun tidak. Berdasarkan hadits Hudzaifah dan Abi Mas'ud r.a., Rasulullah saw. bersabda,"Jika seseorang mengimami orang- orang maka hendaknya ia tidak berada di tempat yang lebih tinggi dari tempat orang-orang lainnya."

Ibnu Mas'ud juga melarang hal ini. Menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i juga dimakruhkan bila tempat makmum lebih tinggi sehasta dari tempat imam. Kemak-

ruhan itu dikaitkan oleh mereka jika tidak berada dalam dua keadaan bersama imam, yaitu tidak ada seorang makmum bersama imam. Namun, bila ada seorang makmum saja bersamanya atau lebih maka tidak dimakruhkan lagi. Maliki mengecualikan untuk shalat Jumat, bila dilakukan di atap masjid maka batal shalat Jumatnya. Akan tetapi, Maliki bersama Syafi'i mengecu­alikan tempat tinggi jika karena darurat, kebutuhan, atau bertujuan untuk menga­jarkan shalat pada para makmum maka hal ini dibolehkan. Namun, shalat imam dan makmum akan batal jika ketinggian itu dimaksudkan untuk sombong, karena bertolak belakang dengan maksud shalat.

Sifat kemakruhan menurut Hambali dikhususkan untuk orang yang berada lebih rendah dari tempat imam, tidak un­tuk orang yang sama rata atau lebih tinggi dari imam. Karena makna hadits hanya untuk orang yang lebih rendah, tidak un­tuk lainnya.

Menurut Hambali dan Maliki, tidak mengapa bila lebih tinggi sedikit, seperti tempat mimbar atau sekitar satu jengkal atau sehasta saja. Maliki juga mengecu­alikan tempat tinggi untuk darurat peng­ajaran kepada orang tentang shalat. Ber­dasarkan hadits Sahal, bahwa Nabi saw. shalat di bawah anak tangga dari mimbar.

11.      Menurut selain Hambali, dimakruhkan shalat di belakang anak hasil zina, jika masih ada orang yang berhak untuk men­jadi imam. Karena, anak zina tidak memi­liki ayah yang merawat, mendidik, dan mengajarkannya maka ia lebih banyak kemungkinan bodohnya, juga orang eng­gan makmum kepadanya. Adapun Hanafi mengaitkan hukum makruh kepemimpi­nan shalatnya jika ia bodoh, tetapi jika anak zina itu orang yang pintar dan bertak­wa maka tidak dimakruhkan kepemimpi­nan shalatnya. Karena, hukum makruh itu sebab adanya kekurangan bukan karena zatnya itu sendiri. Maliki juga mengaitkan hukum makruh itu jika anak zina dijadi­kan imam tetap. Sedangkan Syafi'i mem­bolehkan anak zina menjadi imam jika pada sesamanya.

No comments:

Post a Comment