Search This Blog

Keadaan Tidak Sahnya Shalat Imam, Tetapi Tidak sampai Membatalkan Shalat Makmum


Hanafiyah berpendapat, jika imam memiliki hadats, junub, atau hal yang dapat merusak shalat sebelum ia mengucapkan takbiratul ihram atau berbarengan dengan takbir makmum, atau juga terjadi setelah takbir imam maka shalat imam dan makmum menjadi batal karena shalat imam menjamin akan sah dan tidaknya shalat makmum. Dengan kata lain, shalat imam adalah jaminan bagi shalat makmum. Jika shalat imam sah maka shalat makmum juga akan sah, kecuali adanya penyebab lain, jika batal shalat imam maka batal pula shalat makmum, karena bila sesuatu itu rusak maka apa yang menjadi jaminannya akan ikut rusak juga. Jika seorang makmum mengikuti seorang imam lalu makmum itu mengeta¬hui bahwa imam tidak memiliki wudhu maka makmum itu harus mengulang lagi shalatnya menurut kesepakatan ulama, karena jelas adanya hal yang membatalkan shalat.
Adapun jika hal yang merusak atau kurangnya syarat atau rukun muncul maka shalat akan berjalan seperti adanya pada awalnya, baru kemudian shalat imam menjadi batal ketika adanya kekurangan syarat atau adanya
hadats misalnya. Dalam keadaan ini, makmum tidak perlu mengulang shalatnya seperti yang dilakukan oleh imam. Atau juga, seseorang pergi melaksanakan shalat Jumat setelah ia melaksanakan shalat zhuhur dengan berja¬maah maka shalatnya akan rusak saja. Sebagaimana jika imam berniat melakukan sujud tilawah setelah para makmum telah bubar, seperti halnya jika orang-orang sudah salam sebelum imam, setelah duduk selama bacaan tasyahhud, lalu muncul hadats maka shalat imam saja yang batal. Begitu juga jika imam sujud sahwi (karena lupa) sedang orang-orang belum sujud, lalu muncul hadats maka shalat imam saja yang batal.
Dalam kasus di atas, shalat imam menjadi batal sedang shalat makmum tetap sah. Ini tidak bertentangan dengan kaidah sebelumnya bahwa shalat imam menjadi jaminan akar shalat makmum. Dengan alasan, bahwa sebat yang membatalkan shalat imam itu datang nya tiba-tiba usai melaksanakan tugas sebaga imam, pada saat itu tidak ada lagi hubungar imam dan makmum.
Malikiyah berpendapat, "Jika seorang imam melaksanakan shalat dalam keadaan ju nub atau tidak memiliki wudhu maka batallah shalatnya menurut kesepakatan ulama, bail disengaja ataupun lupa, sedang untuk mak mum maka batal shalatnya jika imam melaku kannya dengan sengaja bukan lupa."
Syafi'iyyah berpendapat, "Jika imam di ketahui dengan jelas adalah seorang wanit; atau orang kafir maka wajib bagi makmum un tuk mengulang shalatnya. Alasannya, bahwa makmum enggan untuk mencari imam yang benar. Juga, tidak berhaknya imam (wanit; atau kafir) untuk menjadi imam bagi kaun laki-laki.
Namun, jika diketahui imam dalam keadaan junub atau ber-hadats atau ada najis tersembunyi di dalam baju atau badannya maka makmum tidak wajib untuk mengulang shalatnya, karena tidak mengurangi jumlah jamaah, kecuali ketika shalat jumat, jika orang yang shalat bersama imam hanya berjumlah empat puluh orang saja, termasuk orang yang memiliki hadats atau najis. Dalam keadaan itu, makmum harus mengulang shalatnya jika najis itu terlihat jelas, karena pentingnya keadaan ini. Adapun najis yang terlihat jelas itu adalah sekiranya makmum dapat melihatnya, sedang najis yang tidak terlihat adalah sebaliknya.
Adapun Hambali berpendapat, jika imam memang diketahui dengan jelas adalah wanita atau orang kafir maka makmum harus mengulang shalatnya seperti yang dikatakan oleh Syafi'iyyah. Dimana kaum wanita itu memiliki suara, gaya, dan lainnya yang khusus. Adapun orang kafir tidak akan sulit mengeta¬huinya, sedang jika tidak mengetahuinya maka sangat keterlaluan.
Kemudian, tidak sah kepemimpinan shalat orang yang memiliki hadats atau najis dan diketahui keadaannya. Karena, orang itu meninggalkan satu syarat shalat secara sengaja, seperti mempermainkan shalat, maka wajib bagi makmum, ketika diketahui bahwa imam ber-hadats atau memiliki najis, untuk mengulang shalatnya, meski makmum tidak menge¬tahui keadaan imam sekalipun. Sedangkan jika imam tidak mengetahui akan hadats atau najis, begitu juga halnya dengan para makmum hingga usai shalat maka hanya shalat makmum saja yang sah, tidak untuk imam, berdasarkan hadits sebelumnya, "Jika orang yang junub mengimami suatu kaum maka ia harus mengulang shalatnya, sedang untuk orang-orang tidak perlu mengulanginya."
Dengan hadits itu juga, jika seorang imam mengimami suatu jamaah dalam keadaan ber- hadats atau junub tanpa mengetahui hadats- nya, imam ataupun makmum tidak mengetahuinya juga, sampai selesai shalat maka shalat makmum sah menurut kesepakatan ulama, sedang shalat imam batal.

No comments:

Post a Comment